Tuesday, May 3, 2011

Malay ouw Malay !!











Mobil biru dipadu merah berlogo banteng telah unggul jauh, saat kuputuskan meninggalkan Sepang meski balapan belum berakhir. Seb Vettel terlihat tangguh diatas Redbull Racing nya.
Memang, tujuanku sore itu bukan menghabiskan waktu dengarkan suara jet darat yang memekakkan telinga, melintas 300 km/jam didepanku. Aku ingin mendalami hal yang lain. Sempat aku bertanya pada pemudi disebelahku lokasi tempat ngetem bus menuju KL center. “you have to go now, Kerana jem terlampau amat dahsyat terutama masa nak keluar” tuturnya santun.
Dengan ransel dipundak (karena dari bandara KLIA langsung ke Sepang yang berjarak 12 km) aku keluar sirkuit sembari mendengarkan celotehan dalam English dan Melayu dari earmuff radio transmitter yang didapat dari penjaja disekitar sirkuit. shuttle bus menuju penghantaran bus ke KL yang mengitari parking lot dan sirkuitpun kutumpangi. Areal parkirnya teratur. Bus umum teratur. Nyaman. Tiket RM15, akupun menuju KualaLumpur sentral. dilanjutkan dengan monorail ke Bukit Nanas station, sekali nyebrang jalan tibalah di Renaissance hotel Jalan Ampang.
Waktu terasa cepat. “sekarang pukul sembilan setengah” kata petugas hotel. Memang, KL masih sejajar WIB, namun waktunya setara Wita. Siapa yang bangun lebih pagi, mendapatkan lebih. Benar juga, mereka berada pada waktu yang sama dengan Singapure, Hongkong. Saat Jakarta masih lelap, mereka sudah bergegas.
Pak Dubes sebagai pembuka pada diskusi saat itu. “Tiap hari saya didatangi orang asing yang ingin berbisnis di negeri kita. Saya katakan, kenapa tidak langsung saja? “ katanya. Tapi ini sepertinya terkait trust dan rasa aman. Memang terlihat banyak expatriate yang tinggal di kota ini. “Setelah saya bertugas disini, saya jadi lebih memahami” lanjut pak Da’i. Pemerintahnya memang memiliki visi dan fokus dalam mendorong kemajuan bangsanya.
Sayapun sependapat. Jika melihat infrastruktur yang ada, bandara, jalan tol Utara- Selatan, Timur-Barat. Skyscrapers dll. Merambahnya syarikat Berhad ke level global.
Telah berapa kali aku ke negeri ini. Namun kedatangan sekarang terkait diskusi tentang penanganan mine closure dan bandingannya dengan negeri jiran. The Mines, salah satu bekas tambang timah di Selangor, menjadi resort yang mewah dengan lingkungan yang sangat indah. Bekas Pit nya menjadi danau. “ Peraturan tentang pengakhiran lombong, Indonesia lebih maju. Kami tidak selengkap itu” kata professor Wang dari Universiti Kebangsaan Malaysia saat diskusi dikampusnya. Tapi kenapa mereka lebih bagus ? “sepertinya perbedaannya diimplementasi” kucoba menebak dalam hati.
Perhatianku tertuju mencari tahu bagaimana negeri serumpun ini maju.. Pemerintah banyak mengirim lulusan terbaiknya menimba ilmu diuniversitas terkemuka. Inggris dan Canada adalah tujuan favorit. Juga mendatangkan banyak guru bahasa Inggris. Lalu siapa kunci kemajuan? Dari Profesor yang kutemui sampai penjaga hotel dan penjaja makanan di Bukit Bintang, mengarah pada satu nama. Dr Mahathir!.
Ingin mengetahui lebih dalam, membuatku merogoh RM100 untuk dapatkan buku setebal lebih 840an halaman. A Doctor in the house, the memoirs of Tun Dr Mahathir Muhamad , ditulis sendiri oleh Perdana Menteri ke4 yang berkuasa selama 22 tahun (88-03), berupa pengalaman masa kecil dan keputusan-keputusannya selama mentransformasi negerinya dari negeri pertanian tradisional ke Industrial powerhouse dan menjadi salah satu pusat perdagangan dunia.
Kepemimpinannya sebagian di cap oleh Barat kontroversial dan cenderung rasis dengan mengutamakan Melayu, dijawabnya dengan logika dan perbandingan yang masuk akal.
Moyangnya juga mengalir darah India. Yang unik, jika bikin keputusan tidak popular, dikatakan karena Malay-nya, namun jika keputusan nya membawa kemajuan bangsa, itu karena mengalir darah India. Memang stereotip nya adalah Malay itu malas. Untuk merubahnya, Mahathir mencontohkan melalui kerja keras, tidak main golf, anti korupsi, dengan kebanggaan terbesar adalah melihat idenya bisa menjadi kenyataan. Ia juga menemukan bahwa lepas dari kekurang pengalaman dan skill dari orang Melayu, kekuatan terbesarnya adalah keinginan dan kemampuan untuk bekerja dengan orang lain. Dan Iapun berkata “ I am a Malay and I am proud of it”.
Regim berganti, dan mereka terus maju. Pemimpin sekarang mengedepankan satu ras. Ras Malaysia. Mereka menuju ke nilai-nilai yang universal. Saling menghargai dari perbedaan. Rasa aman tercipta.
Disegitiga emas banyak orang asing. Jalan P. Ramlee, Sultan Ismail, Ampang, Changkat Bukit Bintang, terlihat orang berjalan dengan rasa aman dimalam hari. Pieter, karyawan perusahan tambang Brasil di Sulawesi membanggakan kota ini. Lain Lain halnya Wulan, terpelajar, yang senang bertugas dan mengitari segitiga emas dengan berjalan kaki tanpa ragu meski malam datang. Akupun menikmati keindahan megapolitan Kuala Lumpur. Malam semakin larut. KL tetap berdenyut. Terdengar suara
Kotak , “lepaskanlah ikatanmu dengan aku, biar kamu senang
bila berat melupakan aku…pelan-pelan saja “
Tak lama Rihana pun menyusul dengan love the way you lie …
Just gonna stand there and watch me burn
But that’s all right because I like the way it hurts

Barat dan Timur, tetangganya, sepertinya akrab dengan mereka, Malay-Tamil-Chinesse yang menyatu. Aah.. seperti yang sering didengungkan. Malaysia Trully Asia.