Saturday, December 31, 2016

Batuk , Bolu, dan tano Batak.

Penerbangan pertama dari terminal 3 Cengkareng kali  ini terasa memakan banyak energi. Tentu saja. Karena selain mesti berangkat dari seharusnya masih terlelap,  pesawatnya pun  diparkir jauh.  Jalan kaki dari gerbang terminal, masuknya  dari gate 17  untuk menuju bus. Busnya juga ngetem dulu. Menunggu penumpang yg terlambat.

Seorang pria berbadan kekar sudah duduk di tengah kursi emergency di pesawat kebanggaan nasional ini saat aku tiba.  Aku permisi melewatinya untuk duduk dekat jendela. Di bagian lorong, kursinya kosong.

Aku terus memandang ke luar jendela. Ketika tangga pesawat sudah ditarik, aku pun berujar. " Bang, tangganya sudah ditarik. Tidak ada lagi penumpang naik. Kursi itu kosong" kataku memberi isyarat agar ia pindah ke lorong. Soalnya rasanya lucu duduk berdekatan. Berdua pula.  Sesama jenis. Idiiew!!
"Untuk apa?", tanyanya menggelegar yg bikin aku terkejut dan yakin asalnya dari mana. "Kau bilang dulu sama pramugari apa boleh aku pindah". Wah. Bisa kacau. pindah kursi kesamping mesti nyari pramugari? Harus berpikir cepat nih. Pesawat mulai bergerak menuju landas pacu.  Akupun melepas seatbelt dan bilang " Bang, ditempatku ini, bisa sandaran di jendela. Nanti aku duduk diujung situ". Aku sedikit membujuknya. Kacau juga kalau aku pindah ke lorong tapi dia tetap duduk di tengah. "Mana pramugarinya?!"jawabnya. Waduh. Ia tidak bergeming dengan izin pramugari. Akupun bertindak cepat. Segera melangkah, aku duduk di kursi lorong, sembari batuk keras mengeluarkan suara guntur,  dan nyeletuk " Bang, payah kali batukku ini. Udah berapa hari ngga sembuh-sembuh juga . Nular pula.
Dan...  tanpa nunggu izin pramugari ia segera pindah kursi dekat jendela.

Memanfaatkan kursi kosong memang tak selamanya mulus. 
Aku narik napas dalam. Kejadian kecil yang unik. Terkadang kejadian kecil dapat memberi efek yang dasyat. Mirip percikan api kecil di hutan yang kering.
Maka aku renungkan. Ternyata aku yang salah. Memaksakan kehendak.

Di langit Palembang,  awan tebal dan pesawat terus berguncang. Saat akan mendarat, aku melirik kesamping. Dia terlihat tidur.  Sedangkan aku berkutat dengan sakit di telinga karena beda tekanan dan sedang pilek.
Tiba di Kualanamu,  aku lihat ia ketemu temannya yang menjemput. Terdengar suara kerasnya berkata " tadi pesawat goyang terus. Takut aku, ngga bisa tidur". Akupun bingung. Ternyata tadi ia berpura-pura tidur. Aku hanya tertawa kecil.

Silangit dan Bolu Tapioka
Sejak pagi aku sudah meluncur melintasi Toba Parapat menuju Porsea. Ada undangan syukuran sebuah Yayasan yang dimotori keluarga Marpaung dan tokoh setempat,  berharap bisa memberikan yang terbaik bagi kampung halaman. Dengan harapan bisa meningkatkan kapasitas masyarakat sekitar menyongsong terwujudnya Toba sebagai destinasi Wisata.
Aku senang daerah ini. Juga masyarakatnya. Mereka terbuka. Memang, kelihatannya semua mulai menggeliat. Membangun manusia dan menjaga lingkungan. 


Aku hadir bersama pak Erwin, pak Tober dan pak Ridwan. Mereka orang-orang yang pro-aktif membangun bersama masyarakat sekitar.

"Bapak akan ke Silangit? Harus berangkat sekarang Pak, jalanan macet", aku baru dari sana", kata Dahlia, karyawan yang ikut hadir. Ia baru saja mendarat dan bergegas untuk ikut hadir. Ia kelihatannya memiliki kecintaan pada pengembangan masyarakat. Mungkin karena latar belakangnya yang psikolog dan master di CSR.
Sembari berpikir apa iya bisa macet. Akupun meluncur menuju bandara. Melintasi Balige.  kota kecil yang banyak menghasilkan orang besar.
Di beberapa titik, kendaraan melambat. Macet. "Banyak yang pulang kampung Pak". Kata Adi sambil terus mengemudikan mobil yang kutumpangi. Hari-hari ini saatnya berkunjung ke rumah sahabat dan keluarga. Hari setelah Natal.
Memang, keramaian juga ada di Silangit  . Di bandara berhawa sejuk karena di ketinggian 1300 dpl ini, terlihat padat. Banyak yang akan menuju Jakarta. 
"Pak Carry ya",  seseorang menyapaku". Suaranya kukenal. Ternyata itu pak Denny. Ia putra asli yang berpikir besar. Masih muda, lulusan ITB ini mengabdi di Institut Teknologi Del, setelah kembali dari  studi master di Jepang.
"Kapan berangkat?" kataku, dan ia langsung menjawab awal Januari. Ia bisa menebak maksudku. Doakan ya pak. Tanggal lima ia meninggalkan tanah air mengambil beasiswa Doktornya di Inggris. 


Ia juga sempat bercerita, berupaya mengangkat ekonomi sekitar agar jangan jadi penonton pada saat wisata Toba mengeliat kuat. Oleh-oleh kue bolu dgn tepung ubi lokal diinisiasinya. Bukan bolu dari Medan. Tapi asli Siborong-borong. Rasanya enak dan kemasannya bagus. Akupun membeli beberapa bungkus.

Panggilan terakhir boarding sudah terdengar. Di bandara ini panggilan disampaikan dalam tiba bahasa. Inggris, Indonesia dan bahasa Batak. Meski padat, tetap nyaman karena juga ada bantuan Ricky, protokol muda yang cekatan.

Sriwijaya air yang kutumpangi ini adalah  penerbangan ketiga dari empat pada hari itu. Biasanya hanya dua. Ada extra flight. Aku duduk dekat jendela. Disampingku duduk anak muda. Badannya besaaar. Kelihatannya overweight. Sepertinya dari keluarga mapan. Pake headphone mahal digantung di leher dan hape merek ternama seri terbaru harga termahal.
Tapi kali ini aku tidak akan batuk keras lagi.
"Mba.. minta extension ya", kata anak muda itu ke pramugari meminta sesuatu. Ternyata sambungan seatbelt karena yang ada tidak cukup melilitnya. 

Aku merasa pengap seakan terjebak. Tapi kali ini aku sadar. Tak mau memaksakan kehendak.
Pesawat akan lepas landas. Pramugari mengumumkan agar semua berdoa menurut agama masing-masing. Sriwijaya memang selalu meminta penumpangnya untuk berdoa keselamatan bersama.
Kutarik napas dalam sembari batuk kecil mendehem dan bersandar tenang.
"Minum apa pak?", belum ku jawab, i a bilang bapak kelihatan pilek. "Nanti aku ambilkan teh hangat ya" terdengar suara lembut pramugari berseragam orange itu. Aku hanya mengangguk kecil. Beda dengan suasana di pesawat kemarin.


Akupun tertidur setelah melihat indahnya danau Toba dari ketinggian.









Friday, September 9, 2016

Shanghai, sejuta kenangan

Pesawat SQ  yang aku tumpangi baru saja mendarat mulus di Pudong airport. Namun ada rasa berbeda tadi. Langitnya terasa terang. tidak terasa sudah lebih 2 tahun meninggalkan kota ini.  Mungkin juga karena masih ada pemimpin dunia yang berkumpul di Hanzhou, kota tetangga, sehingga bisa saja pemerintah menerapkan kebijakan langit biru jangka pendek atau memang program yg dua tahun lalu didengungkan pemerintah untuk menghentikan operasi pabrik penimbul polusi sudah terlaksana dan membawa hasil.
Papan informasi digital di sekolah-sekolah yang mencatatkan angka pencemaran dan himbauan penggunaan masker serta meliburkan siswa masih kuat dalam ingatanku saat mengantar Waraney  daftar sekolah Pudong.
Juga tentunya yang menyakitkan ketika dokter di Parkway cancer center Singapore di awal 2015 bilang kemungkinan cancer istriku dari external factor, 6-12 bulan lalu. Saat waktu kami di kota ini dan angka  polusi udara dari Utara sedang tinggi-tingginya? Ach, dugaan yang tidak perlu. Toh dokter juga  tidak tahu dari mana  pastinya. Toh Itu memang sudah jadi bagian dari tantangan hidup ini. Namun yang pasti, ketika kubisikkan kata "ma, papa ke  Shanghai, berangkat nanti malam.", di tengah total dementia dan efek bius serta radioteraphy, ia menitikkan airmata. 
Shanghai memang membawa kenangan. Kami memiliki kenangan itu. Ini cerita tentang bagaimana bertahan, bagaimana membuka hal baru, bagaimana belajar. Kenangan menerima tantangan membuka representative office di bagian negara komunis yang sangat kapitalis ini unik.
Tekad untuk aku bisa, kuperoleh dari istriku, ketika ia mengambil tabungan untuk beli tiket cathay pacific, ikut bareng saat aku àmbil cuti untuk survey penjajakan. Kala itu, meski transportasi MRT metro Shanghai nyaman dan telah lebih 500km menjangkau pelosok kota, namun beberapa tempat seperti konsulat tetap terasa jauh terutama saat berjalan di suhu 41 derajat.  'pa, kakiku melepuh', ujarnya sebelum nyebrangi jalanan lebar depan Shanghaimart, konsulat RI berkantor.
Perizinan yang mesti menyiapkan dokumen ke beberapa kementrian China memang menarik dilakoni.
Bermodalkan guanxi  dengan PtC Co, menjadi kunci. LI jun, Nanci Liu, Amy adalah nama-nama yang sangat membantu.

Banyak yang berubah di kota ini, sebagaimana selalu dibilang ICS shanghaitv, Shanghai is the trend that never ends.  Metro line baru menghubungkan magnetic levitation  train yang satu-satunya di dunia itu mempercepat  waktu tempuh dari bandara Pudong ke resort Disney land yang baru dibuka. Shanghai tower, bagai kota vertikal, gedung kedua tertinggi di dunia yang selesai tahun lalu  berdiri meliuk spiral. Indah diantara para pencakar langit bisnis distrik Lu Jia Zui. Aku ingin ke gedung ini, karena dulu, inilah tempat selalu  kulihat dari balik kantor tentang etos kerja tinggi para pekerja konstruksi China. 

Dengan lift tercepat dunia 10meter perdetik yg bisa membuat telinga mendengung seperti di pesawat, aku menuju observation deck Shanghai tower.  Terlihat kekuatan dan kemajuan China dari atas yang memunculkan kekaguman. Ketika menengok ke bawah, terlihat bagian mantan kantorku. Aku bisa menelusuri kompleks Yanlord Garden, apartemen yang buat aku tahu kalau istriku takut tinggal ketinggian. 

Akupun berterima kasih pada pak Win, dirut Inalum yang menugaskan untuk menambah wawasan aluminium China hingga aku juga  bisa kembali mengunjungi kota ini meski sebentar. Ia  juga yang menawarkan aku meninggalkan kota ini dulu lebih cepat untuk tantangan yang lebih besar, sepanjang aku bisa.

Aku seperti melihat jejak. Aku ingat pesan pendek dari atasan tempat kerjaku dulu ,kini sudah jadi dirut, yang mungkin memberi rasa bangga.


Aku renungi isinya. Itu upaya banyak orang. itu merupakan hal lumrah yang mesti dilakukan oleh tiap pekerja.

Aku berterima kasih pada Yang Maha Kuasa. Atas segala kekuatan, kelemahan dan  ketidakbisaan  serta tantangan yang diberikanNya. Aku melewatinya karena  orang-orang baik tulus yang aku temui dalam perjalanan karir dan kehidupan.

"Kalau  bu Pingkan,  menangani apa di perusahaan?", tanya Ibu kepala konsulat RI di Shanghai. Oh, tidak bu. Ini istri saya, nemani aku cuti sembari mengurus izin. Sejenak ia tertegun dan  kamipun pun tertawa. Ingatan ini muncul kembali.

Pingkan, mungkin tahu mungkin juga tidak, kini sudah lebih dua bulan inap di lantai 35 MRCCC, melebihi lantai yang ditakutinya sewaktu di Yanlord garden Shanghai. Dengan keberaniannya ia melawan stadium empat. Meski nangis menahan sakit, ia kemudian akan menyunggingkan senyum. Dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya, ia akan berusaha mengatakan ... Amin,... bagi tiap doa yang dipanjatkan, meski lirih.

Bulan penuh di mid-autumn, Shanghainese berkumpul, mereka panjatkan doa dalam pertemuan keluarga. 

Shanghai memang indah. Tapi rasanya ada yang kosong saat ini. 

Zhong qiu kuaile !, ma.

Cepatlah sembuh. Aku janji akan ambil cuti. Cuti beneran. Kita telusuri pelosok China. Berdua saja.

Tepian sungai Huang Pu. di September.