Friday, September 9, 2016

Shanghai, sejuta kenangan

Pesawat SQ  yang aku tumpangi baru saja mendarat mulus di Pudong airport. Namun ada rasa berbeda tadi. Langitnya terasa terang. tidak terasa sudah lebih 2 tahun meninggalkan kota ini.  Mungkin juga karena masih ada pemimpin dunia yang berkumpul di Hanzhou, kota tetangga, sehingga bisa saja pemerintah menerapkan kebijakan langit biru jangka pendek atau memang program yg dua tahun lalu didengungkan pemerintah untuk menghentikan operasi pabrik penimbul polusi sudah terlaksana dan membawa hasil.
Papan informasi digital di sekolah-sekolah yang mencatatkan angka pencemaran dan himbauan penggunaan masker serta meliburkan siswa masih kuat dalam ingatanku saat mengantar Waraney  daftar sekolah Pudong.
Juga tentunya yang menyakitkan ketika dokter di Parkway cancer center Singapore di awal 2015 bilang kemungkinan cancer istriku dari external factor, 6-12 bulan lalu. Saat waktu kami di kota ini dan angka  polusi udara dari Utara sedang tinggi-tingginya? Ach, dugaan yang tidak perlu. Toh dokter juga  tidak tahu dari mana  pastinya. Toh Itu memang sudah jadi bagian dari tantangan hidup ini. Namun yang pasti, ketika kubisikkan kata "ma, papa ke  Shanghai, berangkat nanti malam.", di tengah total dementia dan efek bius serta radioteraphy, ia menitikkan airmata. 
Shanghai memang membawa kenangan. Kami memiliki kenangan itu. Ini cerita tentang bagaimana bertahan, bagaimana membuka hal baru, bagaimana belajar. Kenangan menerima tantangan membuka representative office di bagian negara komunis yang sangat kapitalis ini unik.
Tekad untuk aku bisa, kuperoleh dari istriku, ketika ia mengambil tabungan untuk beli tiket cathay pacific, ikut bareng saat aku àmbil cuti untuk survey penjajakan. Kala itu, meski transportasi MRT metro Shanghai nyaman dan telah lebih 500km menjangkau pelosok kota, namun beberapa tempat seperti konsulat tetap terasa jauh terutama saat berjalan di suhu 41 derajat.  'pa, kakiku melepuh', ujarnya sebelum nyebrangi jalanan lebar depan Shanghaimart, konsulat RI berkantor.
Perizinan yang mesti menyiapkan dokumen ke beberapa kementrian China memang menarik dilakoni.
Bermodalkan guanxi  dengan PtC Co, menjadi kunci. LI jun, Nanci Liu, Amy adalah nama-nama yang sangat membantu.

Banyak yang berubah di kota ini, sebagaimana selalu dibilang ICS shanghaitv, Shanghai is the trend that never ends.  Metro line baru menghubungkan magnetic levitation  train yang satu-satunya di dunia itu mempercepat  waktu tempuh dari bandara Pudong ke resort Disney land yang baru dibuka. Shanghai tower, bagai kota vertikal, gedung kedua tertinggi di dunia yang selesai tahun lalu  berdiri meliuk spiral. Indah diantara para pencakar langit bisnis distrik Lu Jia Zui. Aku ingin ke gedung ini, karena dulu, inilah tempat selalu  kulihat dari balik kantor tentang etos kerja tinggi para pekerja konstruksi China. 

Dengan lift tercepat dunia 10meter perdetik yg bisa membuat telinga mendengung seperti di pesawat, aku menuju observation deck Shanghai tower.  Terlihat kekuatan dan kemajuan China dari atas yang memunculkan kekaguman. Ketika menengok ke bawah, terlihat bagian mantan kantorku. Aku bisa menelusuri kompleks Yanlord Garden, apartemen yang buat aku tahu kalau istriku takut tinggal ketinggian. 

Akupun berterima kasih pada pak Win, dirut Inalum yang menugaskan untuk menambah wawasan aluminium China hingga aku juga  bisa kembali mengunjungi kota ini meski sebentar. Ia  juga yang menawarkan aku meninggalkan kota ini dulu lebih cepat untuk tantangan yang lebih besar, sepanjang aku bisa.

Aku seperti melihat jejak. Aku ingat pesan pendek dari atasan tempat kerjaku dulu ,kini sudah jadi dirut, yang mungkin memberi rasa bangga.


Aku renungi isinya. Itu upaya banyak orang. itu merupakan hal lumrah yang mesti dilakukan oleh tiap pekerja.

Aku berterima kasih pada Yang Maha Kuasa. Atas segala kekuatan, kelemahan dan  ketidakbisaan  serta tantangan yang diberikanNya. Aku melewatinya karena  orang-orang baik tulus yang aku temui dalam perjalanan karir dan kehidupan.

"Kalau  bu Pingkan,  menangani apa di perusahaan?", tanya Ibu kepala konsulat RI di Shanghai. Oh, tidak bu. Ini istri saya, nemani aku cuti sembari mengurus izin. Sejenak ia tertegun dan  kamipun pun tertawa. Ingatan ini muncul kembali.

Pingkan, mungkin tahu mungkin juga tidak, kini sudah lebih dua bulan inap di lantai 35 MRCCC, melebihi lantai yang ditakutinya sewaktu di Yanlord garden Shanghai. Dengan keberaniannya ia melawan stadium empat. Meski nangis menahan sakit, ia kemudian akan menyunggingkan senyum. Dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya, ia akan berusaha mengatakan ... Amin,... bagi tiap doa yang dipanjatkan, meski lirih.

Bulan penuh di mid-autumn, Shanghainese berkumpul, mereka panjatkan doa dalam pertemuan keluarga. 

Shanghai memang indah. Tapi rasanya ada yang kosong saat ini. 

Zhong qiu kuaile !, ma.

Cepatlah sembuh. Aku janji akan ambil cuti. Cuti beneran. Kita telusuri pelosok China. Berdua saja.

Tepian sungai Huang Pu. di September.