Tuesday, March 24, 2009

Ternate, Tentang Keindahan


Memandangi laut dari kaki gunung Gamalama tepatnya dari hotel megah Amara, ke pulau penghasil mutiara, Maitara, dan Tidore akan mengingatkan kita kepada lembaran uang kertas RP.1.000, namun Dataran rendah Ternate dengan disamping laut memberi rasa kagum tersendiri. Akan terlihat daerah Bastiong, Kayu Merah, Gambesi dan Floridas. Pada Jumat malam, kota pelabuhan akan macet dengan hilir mudiknya penumpang dan penjemput kapal Pelni Sinabung yang berlabuh. Jalannya yang bergunung-gunung, serta ojek yang berseliweran dengan dentuman musik dari Angkutan umum, menambah semaraknya jalur jalan pelabuhan, Sweering di jalan Ahmad Yani, dan keinginan makan di boulevardnya Ternate, daerah tapak II. Uniknya, bila kita ingin menikmati air goraka, pisang epe, dan milu bakar, maka harus membeli diseberang jalan, kemudian memakannya di Pinggir laut sembari memandangi pulau Halmahera.
Bisa dicoba kelilingi gunung Gamalama, sekitar 1 jam dengan mobil sambil melihat batu angus, lahar yang beku. Untuk mengingat masa lalu, lalu amat, kunjungi benteng Gamlalu, benteng Kalamata di Bastiong, benteng Oranye di kampung tengah Santiong, benteng Tolukko di Dufa Dufa, kelenteng di Pasar Gamalama, maupun gereja St Willibrordus di jalan sekolah Cina. Nikmati tarian bambu gila –orang Manokad bilang- bulu seno ?!-yang ada daya magisnya, dimana para penari berusaha menahan bambu yang akan terus bergerak kelaut sampai kemudian penarinya akan melepasnya. Lapar karena cape? Banyak restoran dengan bumbu yang kuat, Ada rumah makan Kepala ikan yang selalu penuh pengunjung ‘RM Bagdad Manado’, atau rumah makan Pondok Katu dengan ikan bakar, capcae, dan es kelapa muda dengan gula merah yang ditaruh di gelas yang sangat besar. Pasti puas.

Monday, March 9, 2009

Kilometer Nol Airmadidi

Gielong,Keponakanku, Sang penjaga Paaltunjung
Kilometer Nol Airmadidi

Stop..stop… stoooop, terdengar lengkingan teriakan diikuti suara ban mobil berdenyit yang di rem mendadak. ‘ado eh... ngana pe oto ini dank, so talewat tare ibu Betsy pe rumah' teriak seorang perempuan dari atas mobil pickup Datsun. Seketika pengemudi langsung menimpali ' Eh tanta, tanta pekira ini’ bendi!, sekali wess.. langsung brenti!. Tanta jo tare bawa ni oto, lanjutnya dan langsung ditimpali si ibu ‘ Kong ngana yang pigi jual ni ikang??!
Itulah percakapan pendek penuh makna semangat menyongsong tantangan kehidupan nyata para penjual ikan dari pantai Kema, saat surya berusaha muncul dari balik Klabat yang anggun untuk menghangatkan Airmadidi. Para ibu pun bergegas meloncat turun sembari meletakkan loyang berisi Tude Oci, Suntung, ataupun Noru, diatas kepalanya, siap menyusuri jalan-jalan Airmadidi kota seraya mengumandangkan suara merdunya ‘Juaaaal ikaaaang mantaaaa’. Sementara si pickup Datsunpun melaju ke arah Manado, menurunkan lagi penjaja yang lain, entah dimana.

Ibu Betsy, yang disebut oleh penjaja ikan itu, adalah ibu saya, Guru Sekolah Dasar Inpres di kampungku, dikenal bukan karena rumah kami yang terletak di paal tunjung, dalam radius nol kilometer Airmadidi, tapi karena seorang pendidik dengan kepekaan sosial yang sangat dibanggakan oleh sembilan anaknya. Rumah yang tidak pernah terkunci untuk yang minta minum karena haus, perpustakaan sederhana dirumah, dan halaman tempat bermain untuk umum, Bahkan diakhir 80-an, mencari dan meminjamkan bagian depan rumah kami kepada investor, untuk buka kursus WS dan Lotus dan pemograman Basic dengan tariff pengganti listrik, dan anak anak dikampungpun mengenal komputer lebih dini. Semangat Ibu saya, semangat penjaja ikan, dan semangat matahari, telah membuat kami, anak anaknya, belajar tentang kehidupan, dan berani menjauhi Kilometer nol Airmadidi. ‘Ibu Betsy memang pendidik sejati” ujar pak Freddy Sualang, Wakil Gubernur Sulut, saat mengantarkan Ibu kami ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Montelibano, Sapi Main Bola




Sapi main bola yang ini, bukanlah dialeg saudara saya yang seperti disingkat, maksudnya 'saya pergi main sepakbola', tetapi adalah pemandangan ketika melintasi sabana dengan kandang luas dan sapi berlarian, layaknya bermain bola saat memasuki Montelibano, sebuah kota kecil di propinsi Cordoba, kira-kira berjarak 22.500 Kilometer dari Airmadidi, atau 29 jam di udara dari Samratulangi Airport ke Medellin, mengitari setengah bumi.

Daerah ini kaya bahan tambang serta sabana yang sangat indah. Masyarakatnya yang penganut Maronite RK, merupakan paduan Colombia, Indian, Spanyol dan imigran sejak dinasti Otoman, adalah komunitas pekerja yang kuat. Mereka menamakan daerah ini untuk mengenang mount Lebanon. Penduduk setempat berkomunikasi dengan bahasa Spanyol, dan agak sulit berbahasa Inggris.
Mungkin karena penguasaan dan penggunaan bahasa Spanyol di hampir semua Latin Amerika, sehingga untuk untuk bisa berkomunikasi dengan masyarakat setempat, sebaiknya mengenal sapaan sehari-hari. Itupun asal memiliki keberanian yang cukup, karena meski aman dan masyarakatnya baik dan bersahaja, kadang kita lebih sering terpengaruh oleh cerita lama tentang Escobar dari Medellin yang terkenal seantero jagad. Hola, Puede Usted ayudarme? Lo siento no hablo espanola. Gracias por Su hospitalidad..Hasta Luego