Thursday, March 18, 2010

Denver, Mobil Panjang, Persahabatan

Cuaca memang dingin saat itu, meski musim akan segera berganti tapi masih nampak salju disekitar pelataran Seven eleven, minimarket yang kami singgahi . Mie gelas ternyata tersedia dan dengan sigap aku minta air panas dan segera menyeduhnya, sembari berjalan keluar, menikmati panasnya mie dicuaca dingin. Lirikan mataku tertuju pada mobil panjang yang sedang diparkir. “Wah, bagus sekali mobil ini, di Jakarta mungkin tidak ada” kataku kepada pak Iwan, yang jalan bareng karena penat di hotel meski jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Saat kami ngobrol, seorang lelaki bertampang Timur Tengah mendekati kami. “are you from Bangkok?”. No, Jakarta, kataku. “ Ouw, Indonesian?! Oh brother, we are friends, I am Achmed” sambil tersenyum dan masuk ke mobilnya. Rupanya dia tahu kalau kami sedang mengagumi mobil panjang itu. Agak malu juga, namun yang bikin surprised, ternyata dia pemiliknya, dan jantung sedikit berhenti berdebar saat setengah teriak, dia nyeletuk, “come on, join with me!” tanpa mikir dua kali campur nekat, kami pun langsung berada dalam mobil. Achmed, Warga Amerika keturunan Aljazair itu bercerita tentang bagaimana keluarganya sampai di Amerika, sembari konsentrasiku lebih banyak mengagumi bagian dalam mobil panjang jenis strech Limousine. Ada meja panjang, gelas dan sederetan minuman mahal. Dia senang sekali dengan Indonesia, sembari cerita tentang negara muslim terbesar dan mau berdemokrasi. Seakan tau perasaan kami, ia mengajak keliling downtown Denver. Bagaikan mimpi ditengah malam (bukannya mimpi disiang bolong, karena saat itu sudah pukul 24.00). Puas keliling, kami diantar ke hotel. Saat turun, ia bilang senang sekali bisa menyenangkan saudaranya, dua Muslim dari jauh. Pak Iwan menyela bahwa Carry itu Kristen,. Tanpa ada ekspresi kaget, Achmed bilang, gak masalah, kalian kelihatannya orang baik. Caileeh, udah dikasih tumpangan mobil mewah, keliling kota ditengah Amerika gratis, difotoin, dibilang orang baik pula. Aku tersenyum, sambil membungkuk aku berujar “ Thank you friend, Assalamu alaikum. Dan raut mukanya terlihat senang, senang telah membantu orang. Saudaranya. Aku pun agak terdiam, ditanah yang jaraknya ribuan kilo dari kampungku, ternyata, kebaikan universal itu ada, dan memang indah. Melintasi benua, agama dan ras. Aku terus menatap, sampai mobil putih panjang itu hilang dari pandangan.

Mungkinkah Micro tak Seindah Dulu


Hari masih pagi, saat aku mencegat mobil angkutan umum (Micro) Kairagi- Pasar 45. Microlet Suzuki ini menyusuri lajur yang aku kenal saat sekolah dulu. Dengan pelan dan selalu melirik ke kiri sembari menyapa siapapun dengan suara klakson kecilnya karena disentak pelan. Tapi yang disapa malah melayangkan mukanya ke kanan, sepertinya melihat kendaraan di belakang. “ Sekarang susah. Penumpang solebe balagu , maar kalu nyanda ba plang kong kase klakson, lebe kacili peluang dia mo dola ni oto” Kata sang sopir trenyuh. (sekarang susah, penumpang makin belagu, tapi kalau tidak melambat dan beri klakson, makin kecil peluang akan cegat mobil ini). Micro pun terus melaju pelan. Memang tidak terjebak macet saat melintas di Patung Kuda Paal Dua. Ya, saat itu memang sedang libur Nyepi, Jalanan agak lengang. Saat melintas hotel Peninsula dan Gereja Centrum, aku mengeluarkan selembar dua puluh ribu rupiah, sembari nanya “ Om, kalau ke Bahu nae dimana?. “ “oh, jangan turun sini, nanti di Matahari” jawab sang sopir sambil mengambil selembar uang sepuluh ribu, lima ribu, serta tiga lembar seribuan. Oh, frag cuma dua ribu?Io, soturung kwa karna minya manta turung kata, maar ta dengar di brita so mulai nae ulang, mungkin ni frag somo bale ulang. Nae turung sama deng tape pendapatan hehe, jawabnya sambil sedikit terkeke ( Oh, ongkosnya dua ribu? Ia, sudah turun karena harga minyak mentah katanya turun, tapi saya dengar di berita mulai naik kembali. Naik turun seperti pendapatan saya). Neh, turung sini kong jalan ba sebelah di jalur Malalayang, kata sang sopir, sembari menunjuk arah untuk saya melintas ke seberang jalan di balik Gedung Pertokoan. Sambil melangkah turun aku mebanggakan kota ini, salah satunya karena para sopir yang peduli dan selalu ingin membantu memberi informasi.
Suara mesin pembangkit listrik diesel terdengar di sepanjang perlintasan Matahari dan Golden. Orang-orang tampak bergegas, mungkin mereka adalah pekerja di pertokoan sepanjang Boulevard yang memang terkenal sebagai daerah bisnis Manado. Ada perasaan dan aroma yang sama dengan suasana daerah Geylang Serai, suasana pemukiman dan pertokoan, tempat asli Singapurean. Mereka yang melintas, tanpa senda gurau, expresinya datar. Saya berandai, mungkin pekerja ini sedang mikirkan cara bertahan dengan upah UMR, di tengah kota yang memang mulai tumbuh mengeliat dan dkenal dengan gaya masyarakatnya.
Aku agak melompat masuk ke Micro Jurusan Bahu yang sedang bergerak pelan. “ Sorry nech, ni oto nimbole brenti, karna forboden di tampa tadi” kata sopir yang minta maaf karena mobilnya tidak berhenti sempurna saat aku naik di tempat yang ada tanda S dicoret itu. Sebenarnya aku juga salah, tapi memang tidak tahu kalau ada tanda larangan. Mobilnya kosong, hanya ada aku, dan seorang penumpang yang duduk di depan di samping sopir, yang juga pernah mantan sopir ditahun 90an.
Dulu nyanda ada basis, orang cari oto, skarang oto cari penumpang kang, kita dulu mencari daerah Banjer” celoteh penumpang yang duduk depan ke sang sopir, mungkin karena dia melihat ada penumpang yang tidak mau naik.” Ya, apalagi ini oto so tua, kong depe teip ley nyanda talalu bagus, maar Ehnar tetap minta stor saratus”. Jawabnya (Ia, apalagi mobil ini sudah tua, dan tape mobilnya tidak terlalu bagus, tetapi pemilik kendaraan tetap minta setoran seratus ribu).
Aku tergerak ingin memahami lebih dalam. “Om, kalu skarang memang susah”? tanyaku,” Io, cari stor, bensin torang isi dua puluh. For mo dapa doi makang lebe, musti mencari dua ratus lima pulu, jadi musti barmaen tu filing, kapan ba jalur kapan ba spekol “ katanya (ya, cari setoran, bensin kami isi 20 liter, untuk cari uang makan, musti mencari Rp. 250 ribu. Jadi harus main feeling nya, kapan ikut antrean ngetem, kapan spikulasi tidak ngetem).
Lanjutnya, “ dulu orang bilang, ruma saki bayar dua, jadi ada tambahan. Maar skarang so nyanda ada. So lebe pangbareken tu penumpang, kong sosadiki sombong karna banya ojek ley” (dulu ada yang ke rumah sakit/RSUP mau bayar dua kali, tapi sekarang sudah tidak ada, penumpang sudah semakin perhitungan, dan sedikit sombong karena sudah banyak ojek)
Microlet itu terus melaju pelan melintasi Boulevard. di sebelah kanan nampak laut Manado yang tenang, setenang hatiku saat itu yang pulang izin sehari untuk menyapa terakhir Paman yang pergi selamanya.
Ini Om, lima ribu, nyanda usa kase pulang” kataku saat turun dari angkot dan tidak lagi meminta kembalian. Terima kase so bacirita” tambahku. Sang sopir pun tersenyum. Mungkin dia sedang berpikir, ternyata ada yang bayar dua stengah kali, sedikit melebihi penumpang dulu yang minta di antar ke rumah sakit itu.
Manado, Medio Maret 2010

Thursday, March 11, 2010

Penantian, Yang Terbaik Dari Dalam Tenda


Hujan baru saja berhenti ketika kami sepakat mengunjungi desa Banyuwangi kecamatan Cigudeg di belahan Barat kabupaten Bogor, desa yang terletak dibalik lembah berdinding pegunungan. Ford Ranger yang kami tumpangi hanya sebentar leluasa dijalanan aspal yang kecil. Tak lama kemudian, penggerak empat rodanya difungsikan pertanda jalanan semakin menantang dan sulit. “Mobilnya diparkir disini saja Pak. Jika mau lihat Penggeleseran, jalan kaki turun 1 jam lagi” seorang bapak keluar dari tenda darurat dipinggir jalan menghampiri kami. Nampak tulisan Posko dan beberapa foto tergantung didepan tenda. Bapak itu menambahkan “ untuk melihat Penggeleseran, musti jalan tiga kilo lagi dijalan menurun. Jika dihitung dengan PP, berarti lepas magrib belum tentu tiba”.
Aku turun. Pandanganku menerawang sekeliling. Terlihat Hamparan lahan Perhutani. Hutannya tidak lagi lebat. Dikejauhan nampak bukit terbuka. “ yang itu tambang galena” kata pak hansip didekatku seakan tau apa yang sedang dibenak. “Tak jauh dari situ terdapat sekitar 220an KK yang minta direlokasi” tambahnya. “Kalau mau yang agak dekat bisa lihat kampung Cibugis, dekat saja dari sini” celetuknya lagi. Namun aku harus menghitung kemampuan fisik untuk menuju lokasi. Kamipun sepakat melihat Cibugis. Ternyata, yang dimaksud dengan dekat adalah ukuran si Johan, penduduk asli Cibugis. Johan, tepatnya Johani, adalah pemuda desa yang bagai kijang bisa naik turun kampungnya yang curam. Kami melintasi potongan potongan longsor kecil, lewati kandang kambing, sesekali ketemu Glundung .

Ada Bu Dewan yang masih muda dalam rombongan kami. Ia juga ingin melihat langsung penderitaan konstituennya. Saat istirahat, ia duduk dekat seorang Ibu sebayanya namun sudah punya anak 3 yang berurutan. “ Nih, ada lagi diperut” celotehnya sembari tersipu mengelus perutnya. Aku tertarik. Fokusku sebenarnya jadi agak bergeser. Memang Sejak tadi aku tidak melihat longsor dasyat. Yang ada adalah deretan rumah yang memang terletak riskan di lereng terjal. Di Posko sebelumnya juga terlihat hanya tenda yang berisi ibu-ibu dan anak anak. Saya jadi ingin mendalami sosial masyarakatnya. Apa ada Dokter atau fasilitas kesehatan dilokasi ini. “ saya berobat ke paraji”katanya, “dukun beranak” sambungnya. Mungkin melihat ekspresi tidak mengertiku. Kalau ke Kecamatan jauh dan biayanya mahal.”Ojeknya lima puluh ribu. PP seratus, padahal berapa penghasilan suamiku” lanjutnya, seakan menegaskan pembenarannya bahwa pajari sudah cukup. Tapi saya bisa melihat, mereka butuh pelayanan kesehatan.
Minggu ini, media lokal Bogor ramai beritakan Panggeleseran dan Cibugis, tentang rumah tertimpa longsor dari tanah yang labil, dan posisi rumah yang riskan, tentang pengungsian. Petinggi kecamatan yang bareng saya bercerita, tiap tahun ada kasus tanah longsor. Semestinya relokasi itu segera, “warga disana bisa tiap saat ditimbun oleh ribuan meter kubik tanah”, tambahnya sambil menunjuk rumah-rumah dibawah bukit itu.
Hari semakin petang. Tiba waktunya pulang, membawa pengalaman yang lain. Obat dan susu bayi sudah tersampaikan kepada yang membutuhkan, begitu cerita petinggi desa, jelang kami pamitan.

Tapi aku masih bertanya dalam hati, bagaimana jawaban atas cerita tentang sekelompok masyarakat yang kuatir jika hujan tiba yang mengajak tanah untuk menutup rumahnya, atau juga jika panas terus datang, tapi tetap kuatir kembali kerumah. Menanti relokasi yang tak tau kapan. Batinnya mengungsi ketempat keraguan. Abu abu. Sekontradiktif ketika Johan berujar, “tempat ini indah, jakarta terlihat dari sini, apalagi kalau malam tahun baru, kembang apinya jelas sekali” seraya jarinya menunjuk. Memang, karena terletak diketinggian, dibalik awan tipis samar terlihat gedung tinggi ibukota. Aku ingin memberi tahu Waraney, anakku, tentang keindahan ini segera, tapi tidak ada sinyal hape. Ternyata ada juga masyarakat di pulau Jawa yang belum kebagian sinyal, mungkin juga termasuk kebagian sentuhan pembangunan.

Dan aku tersentak. Sekelompok anak kecil berlarian dari tenda tentara menuju gerbang. Mereka melambaikan tangan, dan mulut mulut kecil itu tersenyum seraya berujar “ Hatur Nuhun pak udah datang, hati-hati dijalan, ingat kami ya”. Anak-anak pengungsi itu tulus. Mereka juga tau berterima kasih. Aku terharu