Thursday, March 18, 2010

Mungkinkah Micro tak Seindah Dulu


Hari masih pagi, saat aku mencegat mobil angkutan umum (Micro) Kairagi- Pasar 45. Microlet Suzuki ini menyusuri lajur yang aku kenal saat sekolah dulu. Dengan pelan dan selalu melirik ke kiri sembari menyapa siapapun dengan suara klakson kecilnya karena disentak pelan. Tapi yang disapa malah melayangkan mukanya ke kanan, sepertinya melihat kendaraan di belakang. “ Sekarang susah. Penumpang solebe balagu , maar kalu nyanda ba plang kong kase klakson, lebe kacili peluang dia mo dola ni oto” Kata sang sopir trenyuh. (sekarang susah, penumpang makin belagu, tapi kalau tidak melambat dan beri klakson, makin kecil peluang akan cegat mobil ini). Micro pun terus melaju pelan. Memang tidak terjebak macet saat melintas di Patung Kuda Paal Dua. Ya, saat itu memang sedang libur Nyepi, Jalanan agak lengang. Saat melintas hotel Peninsula dan Gereja Centrum, aku mengeluarkan selembar dua puluh ribu rupiah, sembari nanya “ Om, kalau ke Bahu nae dimana?. “ “oh, jangan turun sini, nanti di Matahari” jawab sang sopir sambil mengambil selembar uang sepuluh ribu, lima ribu, serta tiga lembar seribuan. Oh, frag cuma dua ribu?Io, soturung kwa karna minya manta turung kata, maar ta dengar di brita so mulai nae ulang, mungkin ni frag somo bale ulang. Nae turung sama deng tape pendapatan hehe, jawabnya sambil sedikit terkeke ( Oh, ongkosnya dua ribu? Ia, sudah turun karena harga minyak mentah katanya turun, tapi saya dengar di berita mulai naik kembali. Naik turun seperti pendapatan saya). Neh, turung sini kong jalan ba sebelah di jalur Malalayang, kata sang sopir, sembari menunjuk arah untuk saya melintas ke seberang jalan di balik Gedung Pertokoan. Sambil melangkah turun aku mebanggakan kota ini, salah satunya karena para sopir yang peduli dan selalu ingin membantu memberi informasi.
Suara mesin pembangkit listrik diesel terdengar di sepanjang perlintasan Matahari dan Golden. Orang-orang tampak bergegas, mungkin mereka adalah pekerja di pertokoan sepanjang Boulevard yang memang terkenal sebagai daerah bisnis Manado. Ada perasaan dan aroma yang sama dengan suasana daerah Geylang Serai, suasana pemukiman dan pertokoan, tempat asli Singapurean. Mereka yang melintas, tanpa senda gurau, expresinya datar. Saya berandai, mungkin pekerja ini sedang mikirkan cara bertahan dengan upah UMR, di tengah kota yang memang mulai tumbuh mengeliat dan dkenal dengan gaya masyarakatnya.
Aku agak melompat masuk ke Micro Jurusan Bahu yang sedang bergerak pelan. “ Sorry nech, ni oto nimbole brenti, karna forboden di tampa tadi” kata sopir yang minta maaf karena mobilnya tidak berhenti sempurna saat aku naik di tempat yang ada tanda S dicoret itu. Sebenarnya aku juga salah, tapi memang tidak tahu kalau ada tanda larangan. Mobilnya kosong, hanya ada aku, dan seorang penumpang yang duduk di depan di samping sopir, yang juga pernah mantan sopir ditahun 90an.
Dulu nyanda ada basis, orang cari oto, skarang oto cari penumpang kang, kita dulu mencari daerah Banjer” celoteh penumpang yang duduk depan ke sang sopir, mungkin karena dia melihat ada penumpang yang tidak mau naik.” Ya, apalagi ini oto so tua, kong depe teip ley nyanda talalu bagus, maar Ehnar tetap minta stor saratus”. Jawabnya (Ia, apalagi mobil ini sudah tua, dan tape mobilnya tidak terlalu bagus, tetapi pemilik kendaraan tetap minta setoran seratus ribu).
Aku tergerak ingin memahami lebih dalam. “Om, kalu skarang memang susah”? tanyaku,” Io, cari stor, bensin torang isi dua puluh. For mo dapa doi makang lebe, musti mencari dua ratus lima pulu, jadi musti barmaen tu filing, kapan ba jalur kapan ba spekol “ katanya (ya, cari setoran, bensin kami isi 20 liter, untuk cari uang makan, musti mencari Rp. 250 ribu. Jadi harus main feeling nya, kapan ikut antrean ngetem, kapan spikulasi tidak ngetem).
Lanjutnya, “ dulu orang bilang, ruma saki bayar dua, jadi ada tambahan. Maar skarang so nyanda ada. So lebe pangbareken tu penumpang, kong sosadiki sombong karna banya ojek ley” (dulu ada yang ke rumah sakit/RSUP mau bayar dua kali, tapi sekarang sudah tidak ada, penumpang sudah semakin perhitungan, dan sedikit sombong karena sudah banyak ojek)
Microlet itu terus melaju pelan melintasi Boulevard. di sebelah kanan nampak laut Manado yang tenang, setenang hatiku saat itu yang pulang izin sehari untuk menyapa terakhir Paman yang pergi selamanya.
Ini Om, lima ribu, nyanda usa kase pulang” kataku saat turun dari angkot dan tidak lagi meminta kembalian. Terima kase so bacirita” tambahku. Sang sopir pun tersenyum. Mungkin dia sedang berpikir, ternyata ada yang bayar dua stengah kali, sedikit melebihi penumpang dulu yang minta di antar ke rumah sakit itu.
Manado, Medio Maret 2010

No comments:

Post a Comment