Thursday, March 11, 2010

Penantian, Yang Terbaik Dari Dalam Tenda


Hujan baru saja berhenti ketika kami sepakat mengunjungi desa Banyuwangi kecamatan Cigudeg di belahan Barat kabupaten Bogor, desa yang terletak dibalik lembah berdinding pegunungan. Ford Ranger yang kami tumpangi hanya sebentar leluasa dijalanan aspal yang kecil. Tak lama kemudian, penggerak empat rodanya difungsikan pertanda jalanan semakin menantang dan sulit. “Mobilnya diparkir disini saja Pak. Jika mau lihat Penggeleseran, jalan kaki turun 1 jam lagi” seorang bapak keluar dari tenda darurat dipinggir jalan menghampiri kami. Nampak tulisan Posko dan beberapa foto tergantung didepan tenda. Bapak itu menambahkan “ untuk melihat Penggeleseran, musti jalan tiga kilo lagi dijalan menurun. Jika dihitung dengan PP, berarti lepas magrib belum tentu tiba”.
Aku turun. Pandanganku menerawang sekeliling. Terlihat Hamparan lahan Perhutani. Hutannya tidak lagi lebat. Dikejauhan nampak bukit terbuka. “ yang itu tambang galena” kata pak hansip didekatku seakan tau apa yang sedang dibenak. “Tak jauh dari situ terdapat sekitar 220an KK yang minta direlokasi” tambahnya. “Kalau mau yang agak dekat bisa lihat kampung Cibugis, dekat saja dari sini” celetuknya lagi. Namun aku harus menghitung kemampuan fisik untuk menuju lokasi. Kamipun sepakat melihat Cibugis. Ternyata, yang dimaksud dengan dekat adalah ukuran si Johan, penduduk asli Cibugis. Johan, tepatnya Johani, adalah pemuda desa yang bagai kijang bisa naik turun kampungnya yang curam. Kami melintasi potongan potongan longsor kecil, lewati kandang kambing, sesekali ketemu Glundung .

Ada Bu Dewan yang masih muda dalam rombongan kami. Ia juga ingin melihat langsung penderitaan konstituennya. Saat istirahat, ia duduk dekat seorang Ibu sebayanya namun sudah punya anak 3 yang berurutan. “ Nih, ada lagi diperut” celotehnya sembari tersipu mengelus perutnya. Aku tertarik. Fokusku sebenarnya jadi agak bergeser. Memang Sejak tadi aku tidak melihat longsor dasyat. Yang ada adalah deretan rumah yang memang terletak riskan di lereng terjal. Di Posko sebelumnya juga terlihat hanya tenda yang berisi ibu-ibu dan anak anak. Saya jadi ingin mendalami sosial masyarakatnya. Apa ada Dokter atau fasilitas kesehatan dilokasi ini. “ saya berobat ke paraji”katanya, “dukun beranak” sambungnya. Mungkin melihat ekspresi tidak mengertiku. Kalau ke Kecamatan jauh dan biayanya mahal.”Ojeknya lima puluh ribu. PP seratus, padahal berapa penghasilan suamiku” lanjutnya, seakan menegaskan pembenarannya bahwa pajari sudah cukup. Tapi saya bisa melihat, mereka butuh pelayanan kesehatan.
Minggu ini, media lokal Bogor ramai beritakan Panggeleseran dan Cibugis, tentang rumah tertimpa longsor dari tanah yang labil, dan posisi rumah yang riskan, tentang pengungsian. Petinggi kecamatan yang bareng saya bercerita, tiap tahun ada kasus tanah longsor. Semestinya relokasi itu segera, “warga disana bisa tiap saat ditimbun oleh ribuan meter kubik tanah”, tambahnya sambil menunjuk rumah-rumah dibawah bukit itu.
Hari semakin petang. Tiba waktunya pulang, membawa pengalaman yang lain. Obat dan susu bayi sudah tersampaikan kepada yang membutuhkan, begitu cerita petinggi desa, jelang kami pamitan.

Tapi aku masih bertanya dalam hati, bagaimana jawaban atas cerita tentang sekelompok masyarakat yang kuatir jika hujan tiba yang mengajak tanah untuk menutup rumahnya, atau juga jika panas terus datang, tapi tetap kuatir kembali kerumah. Menanti relokasi yang tak tau kapan. Batinnya mengungsi ketempat keraguan. Abu abu. Sekontradiktif ketika Johan berujar, “tempat ini indah, jakarta terlihat dari sini, apalagi kalau malam tahun baru, kembang apinya jelas sekali” seraya jarinya menunjuk. Memang, karena terletak diketinggian, dibalik awan tipis samar terlihat gedung tinggi ibukota. Aku ingin memberi tahu Waraney, anakku, tentang keindahan ini segera, tapi tidak ada sinyal hape. Ternyata ada juga masyarakat di pulau Jawa yang belum kebagian sinyal, mungkin juga termasuk kebagian sentuhan pembangunan.

Dan aku tersentak. Sekelompok anak kecil berlarian dari tenda tentara menuju gerbang. Mereka melambaikan tangan, dan mulut mulut kecil itu tersenyum seraya berujar “ Hatur Nuhun pak udah datang, hati-hati dijalan, ingat kami ya”. Anak-anak pengungsi itu tulus. Mereka juga tau berterima kasih. Aku terharu

No comments:

Post a Comment