Monday, January 16, 2017

Elda, tentang memberi.

Namanya Elda. Nama tengahnya Erma. Dia kakakku.

Menurut Menurut cerita Ibu, nama itu disematkan ketika bapak promosi dari Sersan Mayor menjadi Pembantu Letnan. Pelda. 

Saya ingat. Sewaktu kecil bapak mengajarkannya berpidato.  Ia jadi  juru kampanye cilik di Airmadidi jelang Pemilu tahun 1977 yang diikuti 3 kontestan , saat masih duduk di kelas lima SD. Ia berceloteh tentang program  di atas panggung, mempengaruhi pendengar dewasa sambil mengangkat dua jari membentuk simbol kemenangan.
Ketika SMA ia sekolah di Bandung. Namun saat mahasiswa ia memilih kembali  di Manado.  Ia mahir berbahasa Jerman. Maklum,  ia menerima beasiswa belajar di kampus Universitaet Munchen. Ia sangat peduli pendidikan. Ia juga mengejar putra-putri dikampungku untuk sekolah. Ia sangat membanggakan tanah kelahirannya. Ia mencari keluarga, mencari orang-orang yang punya pengaruh untuk saling baku tongka, alias saling topang, supaya semua maju.
Saat sekolah di Manado, kami - bersama adikku, tinggal di rumah om Eddy Sualang. Tokoh Sulut yang konsisten dan sangat piawai mengulas Marhaenism. Tentang keadilan untuk semua. Padahal waktu itu masih era orba. Beliau jadi tempat diskusi kakakku. Sehingga makin piawai mengolah kata dan terasah jiwa sosialnya.

Ia senang saat profesor Paulus Lotulung (alm) yg hakim agung memintanya melacak hubungan sanak saudara, atau berdebat filsafat dengan om Gordon Mogot (alm), Irjen yang pernah Kadivpropam itu, atau konsep pidato utk sahabatnya, pak Olly, jauh sebelum jadi gubernur.
Ia mengumpulkan data potensi sumber daya Tonsea- sub suku Minahasa- area sekitar  kaki gunung Klabat untuk jadi bahan utama ke DPR, membentuk kabupaten Minahasa Utara.

Master humaniora yang diperolehnya dari UI, memantapkannya menjadi guru mahasiwa di Universitas Manado.
Ia berhasil mengikuti jejak Ibuku, menjadi pendidik, seperti yang diimpikannya.

Bagiku, ia adalah rujukan.  Tempat bertanya banyak hal.
Daya ingatnya kuat. Ia terus bertahan, meski akhirnya ginjalnya tidak mampu mencuci darahnya.

Sore itu, ribuan orang berkumpul. 'Ia pejuang pendiri kabupaten Minut', kata wakil ketua dewan.
'Selayaknya ada: jl Elda Mumbunan', kata Tokoh Ibu Sus. Ia aneh dan unik, kata bupati Minahasa saat melayat.  Ia orang baik, kata bupati Minut saat melepas di Atrium kantornya.

Teman-temannya melantunkan Mir ist wohl in dem Hernn.

Matahari sudah hampir tenggelam, tapi Klabat  terlihat tidak utuh. Puncaknya tertutup awan, dan ada selendang dikakinya. 

Para  tua-tua suku Tonsea tahu. Itu tanda ada yang pergi.
Meski anggun, Klabatpun terlihat sedih.

Airmadidi 12 Januari sore.




No comments:

Post a Comment